RSS

SALATIGA – BOJONEGORO 1 JUNI 2020

JALAN PINTAS DESA RAWOH DESA TERMAS KABUPATEN GROBOGAN

JALAN PINTAS DESA RAWOH DESA TERMAS KABUPATEN GROBOGAN

Rute kami kali ini akan didominasi oleh jalan antar desa – antar kabupaten di areal persawahan. Sebenarnya bisa saja dari Salatiga ambil jalur menuju Kedungjati – Gubug – Purwodadi – Wirosari – Blora – Cepu – Bojonegoro, tapi ga tau kenapa aga kurang tertarik saja lewat sana.

Setelah beberapa kali ngulik jalur via Gmaps, dapatlah rute yang bisa dibilang melewati jalur alternatif antar desa. Rute yang kami lalui kali ini adalah Salatiga – Pabelan – Bringin – Kedungjati – Gubug – Bendung Glapan – Karangrayung – Bendung Sedadi – Toroh – Purwodadi – Pulokulon – Kradenan – Gabus – Jati – Mandenrejo – Medalem – Jembatan TBB (Terusan Bojonegoro – Blora) – Ngraho – Tambakreja – Ngambon – Ngasem – Kalitidu.

Kali ini memang nama daerahnya agak banyak, karena memang jalur yang dipilih pun banyak melewati jalur antar desa. Tujuannya, untuk menghindari Jalan Nasional, Provinsi, maupun jalan utama antar kabupaten. Karena jalur utama (Nasional & Provinsi) pada jam kami lewat sudah ramai oleh rombongan truk.

AREA BENDUNGAN GLAPAN

AREA BENDUNGAN GLAPAN

Jalur Salatiga – Bringin merupakan jalan utama yang sangat ramai. Pusat titik keramaian berada pada satu persimpangan jalan. Persimpangan ini merupakan pertemuan dari arah Salatiga (Jalan Salatiga – Bringin) dengan jalur dari arah Utara, dari arah Bawen (Jalan Tuntang Bringin). Terdapat banyak warung-warung kecil di pinggir jalan di sekitar persimpangan tersebut. Warung – warung ini juga merupakan titik pemberhentian truk kayu. Memang, di sekitar jalur yang sedan kami lalui ini didominasi oleh area perkebunan dan hutan jati.

Selepas Pasar Bringin, arus lalu – lintas sudah tidak semacet seperti di persimpangan. Hanya ada tiga truk kayu di depan kami dan jarang kami berpapasan dengan kendaraan lain. Selepas Pasar Bringin juga, area permukiman penduduk perlahan – lahan mulai semakin sedikit, digantikan hutan jati. Semakin ke Timur, arus lalu – lintas semakin sepi. Beberapa sepeda motor yang sebelumnya beriringan, satu – persatu mulai memisahkan diri dari jalur yang sedang kami lewati.

Kami pun tiba di sebuah jembatan yang lumayan panjang. Jembatan ini merupakan jembatan perbatasan antara Kabupaten Semarang dengan Kabupaten Grobogan. Kami pun berhenti untuk berfoto sejenak di gapura selamat datang di Kabupaten Grobogan.

BANGUNAN BENDUNGAN GLAPAN TEMBELINGAN

BANGUNAN BENDUNGAN GLAPAN TEMBELINGAN

Ini adalah kali pertama kami melewati jalur ini. Bahkan ini kali pertama kami mengunjungi Kabupaten Grobogan. Kecamatan pertama yang kami lewati di Kabupaten Grobogan yaitu Kecamatan Kedungjati. Memasuki Kec. Kedungjati, medan jalan mulai menanjak. Perkerasan jalan merupakan beton dengan lebar yang lumayan. Sepanjang jalur Bringin – Kedungjati didominasi oleh area hutan Jati.

Jika melihat di Google Maps, sungai besar yang kami lalui yang juga pembatas geografis Kabupaten Semarang dengan Kabupaten Grobogan merupak Sungai Tuntang. Dan lokasi jembatan perbatasan berada di Desa Tempuran di sisi Kabupaten Semarang. Sesuai dengan Namanya, memang di desa ini terdapat satu tempuran antara Sungai Tuntang dengan Kali Sanjoyo.

Dari gapura perbatasan antar kabupaten, jalan raya akan banyak melewati area hutan jati yang sangat luas. Medan jalan juga sesekali menanjak. Jalur akan monoton seperti ini hingga memasuki pusat Kecamatan Kedungjati. Dari pusat Kecamatan Kedungjati, kami terus mengkuti jalan raya utama ke arah Utara. Tepat selepas dari area pusat Kecamatan Kedungjati, jalan raya akan menanjak terus dan kembali memasuki area hutan jati.

Jalan yang kami lalui merupakan ruas Jalan Kabupaten yang sekaligus merupakan jalan raya utama penghubung antara Kecamatan Kedungjati dengan Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan. Tapi, kami tidak akan terus mengikuti jalan raya utama Kedungjati – Gubug. Patokan kami pada Gmpas adalah Puncak Tanjakan. Sekitar kurang lebih 500 m dari titik Puncak Tanjakan pada Gmaps, akan ditemui area permukiman pertama yang berada tepat di pinggir jalan raya.

BENDUNGAN GLAPAN TEMBELINGAN

BENDUNGAN GLAPAN TEMBELINGAN

Di area permukiman ini akan ditemui persimpangan jalan. Jika lurus, maka akan tetap di jalan raya utama. Jika mengmbil jalan ke kanan, akan masuk ke ruas Jalan Desa. Tepatnya masuk ke jalan di area Desa Wates, yang kemudian akan tiba di persimpangan di Bendung Glapan – Tembelingan. Jalur inilah yang kami ambil.

Jalan menuju Bendungan Glapan cukup baik, meskipun ada beberapa titik yang semennya hanya untuk ukuran ban truk. Sepanjang Desa Wates hingga mendekati Bendung Glapan, di kanan dan kiri jalan merupakan hamparan kebun jagung & tebu. Tidak ketinggalan dengan background perbukitan yang masih lebat dengan pohon jati.

Kami pun tiba di patokan kedua kami, Bendung Glapan – Tembelingan. Karena cuaca yang cukup gerah dan matahari yang bersinar cukup terik, kami pun memutuskan untuk berhenti sejenak. Kami menepi di emperan toko yang saat itu sedang tutup. Dari lokasi kami berhenti, cukup terlihat jelas bangunan utama Bendung Glapan.

Sambil suami bersitirahat, saya pun mencoba mengecek Gmaps perihal jalur yang akan kami lewati nanti. Selepas Bendung Glapan, patokan kami adalah Pasar dan Kantor Desa. Karena setelah ini, kami akan keluar lagi dari jalan raya utama dan menuju jalan penghubung antar desa. Jalur seperti ini akan terus kami lalui sampai nanti berujung di Jalan Raya Solo – Purwodadi. Dari Bendungan Glapan, motor kami arahkan menuju Pasar Jeketro, Kec. Gubug, Kab. Grobogan. Dari Pasar Jeketro, kami tidak mengambil arah Utara menuju pusat Kecamatan Gubug, tapi mengambil jalan desa langsung menuju ke arah Timur. Tepatnya menuju Jalan Jeketro Truko.

GAPURA DESA DI KABUPATEN BOJONEGORO

GAPURA DESA DI KABUPATEN BOJONEGORO

Jalan masih perkerasan beton, dengan lebar cukup untuk 2 truk papasan. Medan jalan datar dan kanan-kiri jalan hamparan ladamg jagung & tebu yang sangat luas. Sesekali terdapat persimpangan menuju dusun-dusun setempat atau area pabrik/kandang. Ujung jalan Jeketro Truko yang kami lalui ini berakhir di simpangan rel keretaapi di Pasar Bangkle – Sambung. Jalur Jeketro – Pasar Bangkle Sambung ini merupakan jalur asik pertama kami hari ini. Di persimpangan rel keretaapi inilah, jalur asik kedua kami hari ini menanti.

Jika dari persimpangan rel keretaapi Pasar Bangkle terus mengikuti jalan menuju Pasar Truko ke Utara, ujung jalan akan bertemu dengan jalan nasional Gubug – Panawangan – Purwodadi. Jika diteruskan sampai Pasar Truko lalu mengambil arah ke Selatan, akan menuju Kec. Karanggede, Kab. Boyolali. Tapi, rute kami kali ini tidak mengambil dua rute tersebut. Rute yang kami ambil, berbelok ke kanan tepat sebelum rel keretaapi Pasar Bangkle. Jalannya memang jalan kecil menuju bangunan stasiun kecil. Jika bukan warga setempat, sudah dipastikan akan mengira kalau jalan ini hanya jalan menuju stasiun.

Awalnya kami juga ragu, tapi setelah melewati bangunan stasiun, jalan semen masih berlanjut, berbelok ke kanan, tepat ke belakang bangunan stasiun. Setelah berbelok di belakang bangunan stasiun inilah, baru terlihat jalan pintas menuju permukiman. Untuk mencapai permukiman tersebut, kami harus melewati jalan semen selebar 1 mobil mini bus di tengah hamparan areal persawahan & ladang. Mungkin beberapa tahun ke belakang, jalur ini hanya merupakan pematang. Ujung jalan pematang ini bertemu dengn jalan di Desa Termas, Kec. Karangrayung, Kab. Grobogan. Kondisi jalan masih perkerasan semen/beton sampai tiba di perempatan Karangrayung.

GAPURA MASUK DESA DI GROBOGAN

GAPURA MASUK DESA DI GROBOGAN

Sepanjang Jalan Raya Karangrayung – Sedadi, di kiri dan kanan jalan merupakan areal persawahan & ladang yang sangat luas. Sesekali ada areal permukiman. Perkerasan jalan masih beton dan arus lalu lintas sangat sepi. Hanya ada beberapa sepeda motor warga yang seliweran untuk panen. Benar – benar jalur asik, jika dibandingkan harus melewati jalan nasional yang cenderung membosankan bagi saya. Ujung jalan berupa persimpangan. Hanya ada cabang jalan ke kanan dan ke kiri, kami menamakan persimpangan seperti ini dengan sebutan ‘pertigaan mentok’. Hanya istilah buatan kami untuk memudahkan navigasi. Di pertigaan mentok ini, kami mengambil belokan ke kanan. Jalanan menjadi lebih lebar layaknya jalan raya di kota kecil.

Jalur yang kami ambil kali ini mengarah ke Bendungan Sedadi. Tepat di area Bendungan Sedadi, kami menyeberangi jembatan yang bersebelahan dengan Jembatan Keretaapi Sedadi. Patokan kami berikutnya adalah Kantor Desa Pilangpayung. Sepanjang jalan masih berupa hamparan areal persawahan & ladang yang luas, yang sesekali diselingi oleh permukiman. Jalan pun masih berupa beton. Jalan kemudian akan memasuki areal permukiman yang agak padat. Kami terus mengikuti Gmaps hingga keluar dari jalan desa dan bertemu dengan jalan raya lintas kabupaten. Jalan Raya Solo – Purwodadi.

Benar saja, begitu memasuki jalan raya tersebut, sangat terasa bedanya. Kendaraan menjadi sangat padat. Bahkan, cukup banyak truk yang melintas kala itu. Kami memutuskan untuk mencari tempat makan. Karena setelah ini, kami akan melewati daerah yang tidak terlalu ramai. Hanya kota kecamatan kecil. Setidaknya sampai memasuki Bojonegoro nanti.

Rute berikutnya yang kami ambil adalah jalan lintas alternatif bagi truk. Jalan Danyang – Kuwu. Jalan alternatif utama yang melintasi pinggiran Kec. Purwodadi lalu masuk ke Kec. Pulokulon. Ujung jalan ini merupakan persimpangan mentok dengan jalur utama yang berada 2,5 Km di Selatan Bledug Kuwu.

GAPURA MASUK DESA

GAPURA MASUK DESA

Kondisi jalan sepanjang Jalan Raya Danyang – Kuwu tidak terlalu bagus. Lebar jalan cukup untuk truk pasir papasan. Kondisi jalan banyak berlubang, dan akan menyempit jika melewati jembatan. Arus lalu lintas kala itu sangat ramai. Truk, mobil pribadi, sepeda motor semuanya seliweran di jalur ini.

Kondisi ini diperparah dengan asap knalpot truk yang hitam pekat dan debu yang berterbangan. Menyesal rasanya waktu itu saya lupa jalan potong yang melewati Djambon. Kalau saja ketika masuk jalan Raya Solo – Purwodadi motor saya arahkan ke Selatan, ke Desa Ngrandah, pasti perjalanan kami tidak akan terhambat seperti sekarang

Setelah tiba di ujung Jalan Raya Danyang – Kuwu, tepatnya di Desa Tuko, motor kami arahkan ke Selatan. Seperti biasa, niatnya untuk melewati jalan potong. Setelah Palang Sepur Kayen, jalan diarahkan ke sebuah jalan desa dengan beton di sebelah kiri jalan raya. Sama seperti jalan desa lainnya, sepanjang jalan desa inipun perkerasannya beton.

GAPURA PERBATASAN KABUPATEN BLORA DENGAN KABUPATEN GROBOGAN

GAPURA PERBATASAN KABUPATEN BLORA DENGAN KABUPATEN GROBOGAN

Kami terus mengikuti arahan Gmaps sampai pada ujung jalan kami bertemu perempatan. Kami diarahkan lurus. Kondisi jalannya sedikit rusak dan lebar jalannya pun mengecil sedikit. Kami diarahkan untuk masuk sebuah gang dengan kondisi jalan cukup rusak. Aga ragu, tapi kami tetap masuk.. Sepanjang jalan sudah masuk area permukiman padat. Ternyata kami diarahkan untuk menyeberangi rel kereta. Sayangnya ujung jalan yang sedang kami lewati ditutup oleh 2 patok besi. Kami pun putar arah, kembali ke perempatan. Dari perempatan, kami putuskan untuk mengambil arah Utara sembari me-reroute Gmaps. Dapatlah sebuah belokan ke arah permukiman tidak jauh di sebelah Utara perempatan. Kami pun belok ke kanan.

Kondisi jalan berupa semen yang seukuran roda truk yang sudah banyak yang rusak. Di ujung jalan, kami diarahkan untuk berbelok ke kanan lagi. Kanan – kiri jalan yang semula padat rumah penduduk, kini diselingi pepohonan rindang. Kondisi jalan pun semakin rusak. Saya hampir putus asa, kalau jalan ini ‘buntu’ lagi, mau ga mau kami harus memutar ke Utara dan melewati jalan utama Pulokulon – Kradenan (Jalan Honggokusuman).

Untungnya, ujung jalan ini kembali bertemu rel keretaapi. Tapi, saya kembali ragu, apa ada jalan di samping rel untuk sepeda motor? Alhamdulillah nya ada. Bahkan, ada motor yang berpapasan dengan kami. Sayangnya, seingat saya, di jalur rel keretaapi yang ini ada sungai. Saya pun kembali was-was, apa jalan setapak semen pinggir rel keretaapi ini ada jembatannya? Apa jangan-jangam jalannya putus sampai rumah terakhir saja?

GAPURA PERBATASAN KABUPATEN SEMARANG DENGAN KABUPATEN GROBOGAN

GAPURA PERBATASAN KABUPATEN SEMARANG DENGAN KABUPATEN GROBOGAN

Ternyata jalan setapak masih berlanjut melewati rumah terakhir di dusun warga ini. Dan untungnya lagi, ternyata jalan setapak ini juga sudah dibangun jembatannya. Posisi jembatan untuk sepeda motor memang lebih rendah dibandingkan jembatan keretaapi, jadi di Gmaps pun tidak terlalu terlihat.

Lega rasanya sudah bisa melewati rute asik ketiga ini. Kami muncul tepat di samping palang pintu keretaapi Stasiun Kradenan. Setelah ini, kami akan full mengikuti jalan utama menuju Kecamatan Jati. Untungnya, di jalur ini, arus lalu lintas sudah tidak seramai sebelumnya. Hal ini karena di Desa Tuko, arus lalu lintas akan terpecah-pecah. Ada jalur ke Selatan menuju Sragen dan ada jalur Utara menuju jalan raya utama Grobogan – Blora dan juga arah Pantura (Kudus, Pati dan sekitarnya).

Kondisi jalan menuju Kecamatan Jati sangat baik. Aspal mulus dan jalan lebar, ditambah dengan area persawahan yang masih menghampar luas di kanan & kiri jalan. Sebenarnya bukan area persawahan saja, tapi sedari memasuki Kab. Grobogan, banyak juga ladang Jagung & tebu yang sangat luas.

HOTEL DI BOJONEGORO 2

HOTEL DI BOJONEGORO 2

Karena sudah terlalu sore, maka motor lebih dipacu lagi. Memasuki Kecamatan Randublatung, rute kami akan berpisah lagi dengan jalan raya lintas utama. Di pusat Kecamatan Randublatung, ada 2 pilihan rute. Pertama melalui rute Randublatung – Mendenrejo – Menden – Ngraho. Rute kedua adalah Randublatung – Cepu – Padangan. Rute yang lebih banyak dilalui yaitu yang melewati Cepu. Kami lebih memilih rute yang melewati Menden.

Memasuki Mendenrejo, arus lalu lintas kembali sepi. Lebih sepi dibanding pada saat di jalur Jati – Randublatung. Perkerasan jalan beton dan jalan sangat lebar. Kondisi ini tentu saja mempercepat perjalanan kami yang sudah sangat molor ini. Kondisi jalan masih tetap sama ketika kami memasuki Menden. Target saya, kami bisa menyeberang Bengawan Solo sebelum Magrib. Tentunya biar masih bisa mengambil foto-foto sedikit di titik perbatasan Provinsi Jawa Tengah – Provinsi Jawa Timur tersebut. Untungnya, tepat jam 17.30 WIB, kami sampai di Jembatan TBB, singkatan dari Jembatan. Terusan Bojonegoro – Blora. Jembatan yang cukup lebar, panjang dan sangat sepi. Sepertinya memang difungsikan sebagai jalur alternatif saja.

Kami berhenti sejenak di jembatan untuk mengambil foto. Selain kami, hanya ada sekitar 5 pemuda setempat yang juga berfoto di jembatan. Sedangkan kendaraan yang lalu-lalang di jembatan sangat sedikit. Didominasi oleh sepeda motor. Tidak terlihat truk melintas di sini sepanjang kami mengambil foto.

HOTEL DI BOJONEGORO

HOTEL DI BOJONEGORO

Setelah melewati TBB, kami masuk Kec. Ngraho. Kondisi jalan masih sama. Ujung jalan TBB ini berada pada persimpangan dengan jalan raya lintas utama antar Kabupaten. Jalan lintas utama Ngawi – Bojonegoro. Tidak heran lalu lintasnya sangat ramai & hampir semua yang lewat adalah truk besar. Kami berhenti sebentar di minimarket tepat setelah berbelok ke Jalan Raya Ngawi – Bojonegoro. Tidak lama setelah kami memarkirkan motor, Adzan Mahrib pun berkumandang. Di sini kami beristirahat sambil saya diskusikan rute berikutnya yang akan kami lalui.

Berhubung sudah Magrib, otomatis, sisa perjalanan akan kami lewati dengan kondisi gelap. Saya pun ragu, apa tetap mengambil rute Ngraho – Tambakrejo – Ngambon – Ngasem – Kalitidu atau sebaiknya mengikuti jalan lintas utama saja (Ngraho – Padangan – Kalitidu). Jika memilih jalur utama, memang jaraknya lebih pendek dan tidak banyak berbelok-belok. Tapi, sepanjang jalan akan terus beriringan dengan truk-truk besar dari kedua arah. Kalau tetap di rute awal, jalanan sudah pasti sangat sepi, tapi jarak tempuh lebih jauh.

Setelah diskusi sama suami, akhirnya kami memutuskan tetap melewati rute awal, yaitu yang melalui Tambakrejo. Pertimbangannya, selama kondisi jalannya bagus sih, ayo aja. Berhubung sebelum berangkat juga saya cek semua rute dengan Google Street View, jadi ga terlalu ‘buta’ sama kondisi jalan & sekitarnya. Berangkatlah kami menuju Desa Tambakrejo. Kami belok kanan di pertigaan Pasar Blimbing Gede Ngraho. Kondisi jalan masih beton, lebar dan sampai beberapa meter ke depan masih melewati area permukiman padat.

JEMBATAN DESA MALINGMATI KABUPATEN BOJONEGORO

JEMBATAN DESA MALINGMATI KABUPATEN BOJONEGORO

Sekitar 2 Km dari pertigaan pasar, area permukiman menjadi lebih renggang, diselingi area ladang jagung dan tebu. Jalanan juga sedikit berkelok, tapi tidak sampai berkelok seperti di perbukitan/pegunungan. Tidak ada kendaraan lain yang searah dengan kami, mungkin karena sudah waktu Magrib. Keramaian hanya ditemui ketika jalanan memasuki areal pusat desa atau kecamatan. Kami baru dapat barengan motor selepas melewati SMAN 1 Tambakrejo. Itupun hanya 3 sepeda motor warga yang jaraknya berjauhan.

Ada 1 nama desa yang cukup menarik perhatian kami, yaitu Desa Malingmati. Sayangnya, kantor Desa dan beberapa bangunan yang memiliki penunjuk nama desa sudah terlewat. Kami memamg memacu motor aga cepat di jalur ini. Karena jalurnya sepi, jalannya bagus dan relatif lurus.

Hari mulai benar-benar gelap ketika sudah memasuki Ngambon. Untungnya kondisi jalan dan medan tetap sama asiknya. Tidak terasa, kamipun memasuki Kecamatan Ngasem. Di sini, motor harus kami arahkan ke Utara. Menuju jalan raya utama Kalitidu. Keramaian baru kami temui kembali ketika jalanan memasuki Pasar Ngasem. Area permukiman sudah mulai padat, lalu lalang sepeda motor pun kembali kami temui. Kami tidak lagi memacu motor dengan cepat. Setidaknya kalau sudah sampai di Pasar Ngasem, perjalanan kami hari ini hanya tinggal 20%nya lagi.

JEMBATAN PERBATASAN PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN JAWA TIMUR 2

JEMBATAN PERBATASAN PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN JAWA TIMUR 2

Berhubung kami harus membeli beberapa keperluan, jadi setibanya di Pasar Kalitidu, kami mengambil arah ke Barat. Karena pusat keramaian ada di arah Barat kami. Dari tempat kami berhenti kali ini, jarak ke tempat kami menginap hanya sekitar 3 Km lagi saja. Jalan yang kami lalui merupakan jalan Nasional Jalan dengan 2 jalur dan 4 lajur tanpa median & dengan penerangan jalan seadanya, Yang saya heran, jalan nasional tapi sepi sekali.

Padahal baru pukul 19.00 WIB. Dan lagi, bukannya daerah ini merupakan daerah lintasan bus malam & truk? Atau mungkin bukan waktunya bus malam & truk itu melintas? Yang menarik selama perjalanan kami hari ini adalah tidak terhitung berapa kali kami menyeberangi rel keretaapi. Rel keretaapi yang merupakan lintasan jalur Utara ke Surabaya. Padahal, lintasan keretaapinya hanya 1 dan lurus-lurus saja.

JEMBATAN PERBATASAN PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN JAWA TIMUR 3

JEMBATAN PERBATASAN PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN JAWA TIMUR 3

Berhubung kami banyak mengambil jalur antar desa, jadi kami bolak-balik menyeberangi rel. Padahal, kalau kami tetap di jalan nasional atau jalan provinsi, kami hanya akan jalan berdampingam dengan rel keretaapi. Selain rel keretaapi, jalur yang kami lalui sedari Kedungjati hingga Ngasem, mengikuti jalur SUTET. Meskipun tidak segaris lurus, tapi sering kami melintas di bawah bentangan SUTET lalu menjauh, tapi kemudian kami melintas lagi di bawahnya.

Tempat kami menginap berada di Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro. Sengaja tidak terlalu masuk ke darerah pusat kota Bojonegoro, biar bisa langsung melewati jalan alternatif ke arah Selatan. Perjalanan kami hari ini, jarak tempuhnya lebih jauh dibandingkan tiga hari sebelumnya. Kami baru tiba di tempat menginap di Bojonegoro pukul 20.00 WIB. Kami berencana menginap satu malam di Bojonegoro. Bojonegoro merupakan titik awal kami mengambil jalur menuju Selatan, setelah sebelumnya rute kami hanya mengarah ke Timur.

JEMBATAN PERBATASAN PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN JAWA TIMUR

JEMBATAN PERBATASAN PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN JAWA TIMUR

JEMBATAN TERUSAN BLORA BOJONEGORO

JEMBATAN TERUSAN BLORA BOJONEGORO

MASUK KECAMATAN NGAMBON KABUPATEN BOJONEGORO

MASUK KECAMATAN NGAMBON KABUPATEN BOJONEGORO

SIMPANGAN JALUR ALTERNATIF BOJONEGORO - NGAWI 2

SIMPANGAN JALUR ALTERNATIF BOJONEGORO – NGAWI 2

SIMPANGAN JALUR ALTERNATIF BOJONEGORO - NGAWI

SIMPANGAN JALUR ALTERNATIF BOJONEGORO – NGAWI

SUNGAI BENGAWAN SOLO

SUNGAI BENGAWAN SOLO

MELINTASI PERBATASAN PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN JAWA TIMUR

MELINTASI PERBATASAN PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN JAWA TIMUR

JEMBATAN TEMPURAN KALI TUNTANG

JEMBATAN TEMPURAN KALI TUNTANG

 
Leave a comment

Posted by on January 13, 2023 in OUR JOURNEY, Travelling

 

WONOSOBO – SALATIGA 31 MEI 2022

JALUR WONOSOBO - NGADIREJO

JALUR WONOSOBO – NGADIREJO

Setelah kemarin menempuh jarak 231 Km dalam waktu 9 jam, maka hari ini jarak kami sedikit lebih singkat, yaitu 87,6 Km dalam waktu 4 Jam 11 menit. Dalam pemilihan rute pun kali ini saya tidak ambil jalan lintas jalur provinsi. Rute yang saya ambil yaitu Wonosobo – Tambi – Ngadirejo – Jumo – Kandangan – Kaloran – Sumowono – Jambu – Banyubiru – Muncul – Kota Salatiga. Meskipun bukan jalan provinsi, tapi rute kali ini full jalan raya lintas antar kabupaten. Kondisinya aspal mulus dengan medan masih perbukitan.

Meskipun sudah di Wonosobo, tapi kami benar-benar hanya transit istirahat saja. Tidak ada acara mampir ke objek wisata di Dieng (full cuman lewat saja), maupun kulineran. Bahkan makan mie ongklok pun ga sempet. Kami berangkat meninggalkan Wonosobo sekitar jam 10.30. Begitu memasuki area Perkebunan teh Tambi disambut dengan kabut dan udara sejuk khas dataran tinggi. Hari ini adalah rute terakhir kami melewati dataran tinggi. Karna dua hari ke depan, rute kami akan melewati area yang bersuhu cukup panas.

Sepanjang Tambi – Umbul Jumprit, mata kami dimanjakan oleh hamparan perkebunan warga, kabut yang turun dari puncak-puncak bukit, serta pemandangan Kota Temanggung dan sekitarnya yang bermandikan sinar matahari di bawah sana. Jalur ini pun melewati Basecamp Pendakian Gunung Sindoro via Tambi (Sigedang) dan Basecamp Bukit Sikendil.

EMBUNG OBOR TANI KABUPATEN SEMARANG

EMBUNG OBOR TANI KABUPATEN SEMARANG

Arus lalu lintas cukup sepi, hanya ada motor kami dan sesekali sepeda motor warga yang menyusul. Aktivitas warga banyak terlihat di ladang sepanjang jalur. Medan jalan terus menanjak semenjak dari Wonosobo hingga berbelok ke arah Tambi. Setelah melewati Basecamp pendakian Bukit Sikendil, jalanan memasuki area hutan dan medannya mulai menurun.

Setelah keluar dari jalur yang melewati hutan kecil, kami sudah resmi memasuki wilayah administrasi Kabupaten Temanggung. Setelah keluar dari hutan, di sepanjang kanan dan kiri jalan yang kami lalui pemandangan menjadi luas. Jarang ditemui permukiman penduduk, bahkan rumah-rumah penduduk pun tidak ada. Hanya hamparan ladang di kaki Gunung Sindoro dan Bukit Sikendil.

Ketika kami tiba di spot ini, baru kami banyak berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan. Tidak sedikit juga kami berpapasan dengan rombongan anak muda yang akan mendaki atau kemping. Di jalur ini hanya akan ditemukan empat rest area hingga tiba di Pertigaan Jumprit. Rest area ini berupa kedai kopi dan toilet umum. Jarak antar rest area pun tidak bersebelahan, jadi tidak menimbulkan kesan yang sumpek.

EMBUNG YANG KERING KARENA BOCOR

EMBUNG YANG KERING KARENA BOCOR

Ujung jalur yang berupa full turunan ini akan berakhir di sebuah pertigaan besar. Ke arah kanan merupakan jalur ke permukiman penduduk yang kemudian akan bertemu kembali dengan jalur yang lurus dari pertigaan. Kedua percabangan ini akan berakhir di Desa Mutung. Desa Mutung merupakan jalur utama menuju Kabupaten Kendal di Utara. Di Pertigaan Jumprit, kami mengambil arah yang kanan. Arah kanan ini akan berujung di Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung.

Pertigaan Jumprit ini juga terletak berbatasan dengan Taman Nasional Jumprit. Tidak jauh dari Taman Nasional Jumprit, kami melewati objek wisata Umbul Jumprit. Kami lewati dua objek wisata ini. Kami menargetkan sampai di Salatiga masih sore, biar bisa lebih lama beristirahat. Cuaca masih mendung dan sesekali gerimis tipis turun.

Selepas Umbul Jumprit, barulah jalur mulai memasuki area permukiman. Meskipun masih permukiman yang berkelompok dan diselingi area ladang yang luas. Karena cuaca mendung, udara dingin, perut pun rasanya minta diisi lagi. Kami sampai putar balik karena saya melihat di sisi kanan jalan ada tukang gorengan yang menjual donat kampung. Saya ingat, kemarin suami bilang, pengen beli donat kampung. Dan kesampeanlah hari ini.

GORENGAN DI NGADIREJO

GORENGAN DI NGADIREJO

Kami pun memarkirkan motor dan membeli gorengan bakwan, gorengan daun bayam (atau singkong, lupa), tahu isi, dan donat kampungnya tidak ketinggalan. Selain memborong gorengan untuk makan di tempat sambal beristirahat, kami pun tidak ketinggalan membungkus beberapa gorengan. Gorengan ini untuk dimakan nanti di embung yang akan kami datangi.

Setelah perut kenyang dan gerimis berhenti, kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Medan jalan masih terus menurun terus. Ujung jalur yang kami lewati berakhir di Pusat Kecamatan Ngadirejo. Di sini terdapat persimpangan.. Jika terus ke arah Timur akan menuju Desa Jumo. Jika mengambil arah Selatan akan mengarah ke Parakan dan kemudian Temanggung. Jika ke arah Utara akan menuju Desa Mutung dan kemudian ke Kabupaten Kendal. Jalur menuju Parakan ini merupakan jalur Jalan Nasional, yang sudah pasti saya hindari. Motor kami arahkan menuju Desa Jumo, sesuai dengan rute yang sudah saya buat sebelum kegiatan motoran ini.

Tidak jauh dari persimpangan ini, saya tidak sengaja melihat ada sebuah rumah bergaya tahun 80an yang teras rumahnya dijadikan Warmindo. Kami pun kembali memutar arah untuk mampir di Warmindo tersebut. Pemilik Warmindo merupakan seorang ibu – ibu yang sangat ramah. Ibu ini merupakan salah satu pemilik rumah besar bergaya 80-an yang saat ini sudah dibagi-bagi untuk tempat usaha Bersama dengan saudaranya yang lain.

HOTEL DI SALATIGA

HOTEL DI SALATIGA

Cuaca masih mendung dan bahkan sesekali gerimis turun ketika kami berhenti di Warmindo ini. Kami berhenti cukup lama di Warmindo sambil menunggu cuaca membaik. Setelah ada sedikit sinar matahari, kami pamitan kepada ibu pemilik Warmindo. Jalanan masih cukup ramai dengan medan yang sudah dominan datar. Tidak ada tanjakan ataupun turunan panjang seperti sebelumnya. Jalanan pun sudah berupa aspal mulus. Ruas Jalan Ngadirejo – Jumo ini merupaka ruas Jalan Kabupaten.

Kami jalan nonstop dari Nagadirejo melewati Jumo kemudian Kandangan barulah Kaloran. Kaloran merupakan Kecamatan terakhir yang akan kami lewati di Kabupaten Temanggung kali ini. Jalur dari Kecamatan Ngadirejo hingga memasuki Kecamatan Kaloran merupakan jalur yang cukup asik menurut saya. Jalan lintas antar Kabupaten yang sangat baik kondisinya dengan pemandangan khas kota kecil yang asri dan sejuk. Arus lalu lintas yang sedikit padat dari pusat Kecamatan Ngadirejo hingga memasuki Desa Jumo, mulai sedikit berkurang. Di Desa Jumo terdapat persimpangan menuju Temanggung kota.

Sebenarnya ada jalur yang penasaran ingin saya lewati, tapi aga ragu juga karena cuaca yang mendung. Jalur Kaloran – Jambu via Kalimanggis – Kebonagung – Ngadikerso – Jambu. Jalur ini akhirnya di skip karena suami yang lebih memilih jalur utama Kaloran – Sumowono biar lebih cepat katanya. Jalur Ngadirejo – Kaloran – Sumowono ini termasuk jalur asik menurut saya. Jalannya full aspal, jalan lintas utama, tapi arus lalu lintasnya sepi. Bahkan, untungnya kami pergi ketika masih musim hujan, jadi udaranya sejuk. Bahkan mendekati Kec. Sumowono, tepatnya di tugu perbatasan antara Kab. Temanggung – Kab. Semarang, kabut tebal sudah menyambut kami. Ini pertama kalinya saya ke daerah Semarang yang udaranya dingin. Dan baru tahu juga kalau Kec. Sumowono berada di dataran tinggi & masuk wilayah administrasi Kab. Semarang.

JALUR MENUJU CANDIGARON

JALUR MENUJU CANDIGARON

Awalnya, kami masih mau mencoba rute asik menuju tempat tujuan kami di Kec. Jambu via Candigaron, tapi lagi-lagi kami skip. Alasannya adalah karena jalur utama sangat sepi, jadi kalaupun kami ambil jalur potong, waktu tempuhnya ga akan beda jauh. Malah bisa lebih lama karena kondisi jalannya tidak semulus kondisi jalan utama.

Menuju lokasi istirahat kami di Kec. Jambu pun, kondisi jalannya masih sangat bagus meskipun kembali menuju perbukitan. Jalur pun kembali melewati area perkebunan. Sampailah kami di tujuan kami, Wisata Embung Dusun Gedeg Desa Genting. Sebuah embung kecil yang memiliki pemandangan Gunung Ungaran di kejauhan, jika cuaca sedang cerah.

Kami tiba di Embung Obor Tani dengan cuaca yang masih sedikit berawan. Jalan masuk menuju embung merupakan jalan kecil di samping di antara rumah penduduk. Gapura masuknya pun sudah usang, bahkan hampir tidak terbaca tulisan penanda embungnya. Jalan masuk berupa semen yang sudah licin karena terkena campuran tanah merah dan air hujan. Permukaan jalannya pun miring – miring. Kami memarkirkan motor di area terbuka yang berupa rerumputan. Posisi embung lebih tinggi dari posisi jalan masuk dan tempat kami memarkirkan motor. Terdapat papan informsi teknis mengenai embung dan terdapat prasasti dari batu. Prasasti batu merupakan informasi dan cerita singkat terbentuknya embung ini. Di samping prasasti batu terdapat anak tangga menuju embung.

JALUR WONOSOBO - NGADIREJO 2

JALUR WONOSOBO – NGADIREJO 2

Sayangnya, ketika kami tiba di embung ini, kondisinya sangat tidak sesuai harapan. Menurut warga yang sedang merumput di sekitar embung, sudah beberapa bulan ini embung bocor sehingga menyebabkan air embung terkuras habis. Padahal fungsi dari embung ini adalah untuk sumber pengairan kebun lengkeng di desa tersebut. Pemandangan ke arah Gunung Ungaran pun tertutup kabut dan awan hujan.

Kami pun memutuskan untuk lanjut jalan saja nonstop sampai tujuan akhir kami di Salatiga. Tepat ketika kami sedang bersiap untuk jalan lagi, gerimis cukup lebat tiba-tiba turun. Saya pun bergegas jalan ke arah pinggir jalan desa, karena jika boncengan sedikit sulit dengan jalan semen yang licin. Kali ini, suami memacu motor sedikit lebih cepat. Bukan tanpa alasan, kami menghindari kehujanan. Malas rasanya pakai jas hujan tapi malas juga berhenti neduh. Untungnya, kondisi jalan sangat sepi, tidak ada kendaraan lain selain motor kami.

Mungkin karena gerimis. Selain itu, kondisi jalan sangat baik dan medannya menurun terus. Tidak terasa karena gaspol terus & full turunan, kami pun sudah sampai di Desa Kuwarasan. Di sini lalu-lintas mulai ramai, karena ujung jalan ini akan berakhir di Jalan Provinsi Semarang – Yogyakarta (Jalan Letkol Isdiman). Kami tidak berlama-lama di jalan provinsi, karena motor kami arahkan ke jalan potong menuju Banyubiru – Muncul – Salatiga, tidak mengikuti jalan provinsi yang melewati Ambarawa – Tuntang – Salatiga.

JALUR WONOSOBO - NGADIREJO 3

JALUR WONOSOBO – NGADIREJO 3

Gerimis kembali menyapa ketika kami hampir tiba di pusat Kecamatan Banyubiru. Untungnya, arah tujuan kami menjauhi awan hujan. Kondisi jalan sepanjang Banyubiru cukup baik. Jalan raya dengan lalu-lintas yang tidak terlalu ramai, juga tidak terlalu sepi. Jalanan didominasi kendaraan sepeda motor warga setempat dan kendaraan umum carteran.

Kami tiba di Salatiga tepat pukul 16.00 WIB. Memasuki kota Salatiga, arus lalu lintas menjadi cukup ramai, bahkan ada beberapa titik macet yang kami lalui. Masih sangat sore bila dibandingkan hari kemarin. Tidak lupa kami mampir untuk belanja logisti di dekat tempat kami menginap. Kami akan menginap semalam di Salatiga. Lumayan untuk mengistirahatkan badan sebelum besok menempuh kembali rute yang cukup panjang, bahkan sudah lintas Provinsi.

JALUR WONOSOBO - NGADIREJO 4

JALUR WONOSOBO – NGADIREJO 4

PRASASTI EMBUNG OBOR TANI

PRASASTI EMBUNG OBOR TANI

 
Leave a comment

Posted by on January 11, 2023 in OUR JOURNEY, Travelling

 

PURWOKERTO – WONOSOBO 30 MEI 2022

SPOT RANDUJAJAR 3

SPOT RANDUJAJAR 3

Motoran hari kedua. Ini adalah trek tergalau buat saya. Idealnya atau umumnya kalau mau ke Wonosobo start dari Purwokerto, tinggal ikuti saja Jalan Nasional ke arah Purbalingga, Banjarnegara, sampai deh Wonosobo. Medan jalan mudah, kondisi jalan baik, rute ramai, dan yang pasti 2-3 jam juga sudah sampai. Berhubung beberapa tahun ke belakang saya dapat cukup banyak referensi jalur asik yang tersebar di seluruh area Pegunungan Serayu Utara, jadi banyak juga rute yang bikin saya penasaran. Untungnya, ada satu tempat yang paling ingin saya datangi di rute kali ini. Pohon Randujajar di Kabupaten Pemalang.

Berbekal titik koordinat Randujajar, saya mencoba membuat rute dari Purwokerto menuju Wonosobo tapi harus bisa melewati Randujajar di Pemalang. Nah ribet kan? Akhirnya dapat tiga alternatif rute. Itupun harus memilih. Jika ambil rute A, maka kami tidak akan mungkin melewati kecamatan X, karna rutenya akan berputar-putar. Begitupun jika mengambil rute B, maka kami tidak bisa membuat rute yang melintas di Kecamatan Y. Kalau memaksakan melewati semua jalur yang ingin saya coba, malah akan semakin menambah jarak dan waktu tempuh. Ini saja patokan rutenya aja udah muter, ga mungkin dibikin lebih memutar lagi. Jadi, biarlah sisa rute lainnya untuk tabungan motoran kami di lain kesempatan.

GAPURA KELUAR DARI DESA WINDUAJI KABUPATEN PEKALONGAN

GAPURA KELUAR DARI DESA WINDUAJI KABUPATEN PEKALONGAN

“Kalau ada rute asik tapi memutar, kenapa harus tetap di rute biasa?” Kira-kira begitulah gambaran rute perjalanan kami di hari kedua ini. Bagaimana tidak, Purwokerto – Wonosobo yang pada hari libur saja bisa ditempuh dalam waktu terlama tiga jam, kami menempuhnya dengan waktu 9 jam 13 menit dengan jarak tempuh 231 Km. Jarak sudah termasuk salah jalan & waktu tempuh sudah termasuk berhenti istirahat berkali-kali.

Jadi, gambaran besarnya, rute kami di hari kedua ini adalah Purwokerto – Purbalingga – Bobotsari – Randudongkal – Watukumpul – Paninggaran – Kaliboja – Kalibening – Wanayasa – Batur – kawasan wisata Dieng – Wonosobo. Bukan tanpa alasan kenapa menjadikan Randudongkal sebagai bagian dari rute kali ini. Seperti di postingan sebelumnya, mungkin ini saatnya menuntaskan keinginan saya dari 2016 lalu untuk bisa mengabadikan pohon Randujajar dalam bingkai foto jepretan sendiri.

GAPURA MASUK DESA MAJAKERTA KABUPATEN PEMALANG

GAPURA MASUK DESA MAJAKERTA KABUPATEN PEMALANG

Berhubung kami menginap di Purwokerto bagian Selatan, perjalanan dari Purwokerto menuju Bobotsari dimulai melalui Sokaraja. Sepanjang Sokaraja – Purbalingga – Bobotsari tidak ada hal menarik. Hanya sekedar nostalgia pernah beberapa kali melewati rute ini dengan bis malam.

Tepat ketika memasuki gapura Kota Purbalingga, saya meminta suami untuk menepi. Sudah beberapa kali ada telepon masuk dari nomer yang sama. Nomor Purwokerto. Antara malas yang menelepon adalah penipu atau memang telepon yang urgent. Saya pun memutuskan untuk menjawab panggilan telepon tersebut. Sebuah keputusan yang tepat. Karena telepon tersebut berasal dari pihak hotel tempat kami menginap. Perempuan di seberang telepon menginformasikan bahwa KTP saya tertinggal. Bisa-bisanya saya lupa ambil KTP di receptionist. Padahal ini bukan kali pertama saya menginap di hotel.

Layaknya sebuah permainan yang harus mengalami game over dan harus mengulangi dari awal lagi, seperti itulah keadaan kami saat ini. Mau tidak mau, kami pun putar balik menuju Purwokerto. Saya sedikit kesal dan merutuki kelupaan saya. Bagaimana tidak, kami sudah berangkat sesuai jadwal, arus lalu-lintas pun masih sangat sepi. Otomatis perhitungan saya pun tidak akan jauh meleset dan kami bisa tiba di Wonosobo masih sore. Tapi, mau bagaimana lagi, dinikmati saja. Toh, perjalanan kami kali ini tanpa beban tanggungjawab apapun. Jadi, kalaupun sedikit meleset dari perhitungan rasanya tidak masalah. Toh, kami pun memang meniatkan perjalanan ini sebagai perjalanan santai dan suka-suka kami.

GAPURA MASUK DESA WISNU KABUPATEN PEMALANG

GAPURA MASUK DESA WISNU KABUPATEN PEMALANG

Singkat cerita, kami pun tiba kembali di tempat kami menginap. Petugas sudah menyiapkan KTP saya, jadi tidak perlu berlama-lama. Pada akhirnya, kami pun memulai kembali perjalanan tepat pukul 12.00 WIB. Untungnya, arus lalu – lintas belum terlalu padat. Bubaran anak sekolah pun masih tidak terlalu menghambat arus lalu-lintas. Baru mulai akan menyebabkan kemacetan tepatnya. Berhubung kami berdua pun masih kenyang, jadi jam makan siang kami geser dulu. Dan karena tidak terlalu fokus dengan kuliner, jadi deretan warung penjual Soto Sokaraja pun kami lewati begitu saja. Tujuan kami adalah secepatnya sampai di Kota Purbalingga.

Setibanya di Kota Purbalingga, kami pun mengarahkan kendaraan kami menuju Bobotsari. Arus lalu-lintas cukup ramai, karena kami memang melewati area perkotaan Purbalingga. Arus lalu-lintas mulai melengang ketika jalan sudah satu arah menuju Bobotsari. Jalan mulai menanjak terus. Setiba di pusat Kecamatan Bobotsari, kami mengarahkan kendaraan menuju arah Barat lalu ke Utara, menuju Kabupaten Pemalang. Selepas Bobotsari, barulah perjalanan terasa serunya. Medan jalan mulai menanjak menuju perbukitan. Arus lalu lintas semakin sepi, udara pun mulai terasa sejuk. Di sisi Timur, terlihat langit sudah kelabu, semoga tidak kebagian hujan.

Sampailah kami di Kabupaten Pemalang. Sebelum tahun 2016, saya hanya tau Pemalang adalah daerah Pantura, tidak pernah menyangka kalau Pemalang punya dataran tinggi juga. Sebenarnya, kalau kami mau mempersingkat jarak, di Pasar Belik kami bisa langsung ambil arah ke Watukumpul melalui SMAN 1 Belik. Karena tujuan pertama kami di jalur ini adalah spot pohon Randujajar, jadi dari Pasar Belik kami terus ke arah Utara, tidak berbelok ke Timur di Pasar Belik. Ternyata, setelah melewati Pasar Belik, perjalanan kami sedikit terhambat. Medan jalan kembali menurun panjang dan sedikit berkelok. Banyak truk besar juga yang melintas. Rupanya, jalur ini merupakan jalur lintasan utama truk menuju Pantura.

GAPURA MASUK KABUPATEN PEMALANG

GAPURA MASUK KABUPATEN PEMALANG

Kenapa sih keukeuh banget pengen lewat jalur Bobotsari – Randudongkal? Semuanya berawal dari pas Lebaran tahun 2016 (atau 2017). Waktu itu, masih hangat-hangatnya tol Brexit. Nah, kebetulan kami sekeluarga memang start pulang dari Kebumen dan akan masuk tol Palikanci.

Saat itu, kami mau menghindari jalur Ajibarang, jadilah dari Kebumen kami ambil arah Utara menuju Purbalingga – Bobotsari – Randudongkal – Jatinegara – Slawi. Saat itu, karena masuk Bobotsari saja pas Magrib, jadi otomatis sampai ke lokasi Randujajar sekitar jam 20.00 WIB, kalau ga salah. Awalnya sih ya biasa saja, hanya merasa seru saja lewat jalur dan daerah baru. Melewati jalur pegunungan dan kota-kota kecamatan kecil yang syahdu. Sampai pada satu titik, dari kejauhan, terlihat dua pohon Randu yang sangat besar dengan posisi yang menarik perhatian (perhatian saya).

Karna waktu itu saya datang dari arah Selatan, jadi posisi mobil bergerak dari area yang lebih tinggi. Sampailah pada saat jarak mobil dengan kedua pohon Randu sangat dekat. Bagaimana tidak menyita perhatian saya, di tengah gelap malam, di area yang kanan-kirinya gelap gulita tanpa pepohonan, tiba-tiba ada sepasang pohon Randu raksasa yang posisinya berdampingan layaknya gapura. Karena sudah malam, pakai mobil dan arus lalu lintas lumayan ramai, jadi saya hanya bisa melihat saja. Dari situlah saya kemudian mencari informasi mengenai sepasang pohon Randu ini.

GAPURA PERBATASAN KABUPATEN PEKALONGAN DENGAN KABUPATEN BANJARNEGARA

GAPURA PERBATASAN KABUPATEN PEKALONGAN DENGAN KABUPATEN BANJARNEGARA

Randujajar, begitulah sebutannya. Jika mencari Randujajar di mesin pencarian, pasti akan menemukan cukup banyak informasi. Tapi, hanya informasi saja rasanya kurang untuk saya. Saya ingin setidaknya punya dokumentasi sendiri dari sepasang pohon Randu tersebut. Jadi, berhubung kali ini kami motoran ke daerah Jawa Tengah, kayanya bisa-bisa saja saya buatkan rute yang bisa sekalian mampir ke Randujajar. Suami pun oke-oke aja. Kan namanya juga jalan-jalan katanya. Dan, akhirnya tuntas juga rasa penasaran saya akan Randujajar ini. Saatnya menuntaskan rasa penasaran lainnya.

Sampailah kami di spot Randujajar. Tidak ada yang berubah, hanya sekarang jadi ada warung sate tepat di tanah kosong di tikungan. Kami pun memutuskan untuk singgah sejenak sembari nyemil mie instant goreng. Tidak lupa mengambil foto Randujajar. Ternyata, hari biasapun jalur ini arus lalu-lintasnya cukup ramai, bahkan oleh truk ukuran besar. Setelah habis semangkuk mie goreng dan sedikit ngobrol dengan ibu pemilik warung, kamipun pamit. Kami sempatkan mampir dulu di minimarket untuk urusan rutin, biar nanti tidak usah sedikit-sedikit berhenti lagi.

Cuaca cukup cerah, bahkan udara terasa gerah. Maklum, jarak kami dengan area Pantura tidak lebih dari 20 Km saja. Kami pun melewati area yang cukup ramai di Randudongkal. Selepas Pasar dan Terminal Randudongkal, arus lalu-lintas kembali lengang. Saking lengangnya, kami sampai bablas ke arah Bantarbolang. Sebenarnya bisa saja ikutin terus jalur utama Bantarbolang sampai ke Bodeh. Dari Bodeh ada banyak pilihan jalur. Bisa ke arah Kesesi lalu Kajen. Dari Kajen pun banyak pilihannya.

JEMBATAN BENDUNGAN NAMBO KABUPATEN PEMALANG

JEMBATAN BENDUNGAN NAMBO KABUPATEN PEMALANG

Bisa ke Selatan ke Paninggaran atau terus ke arah Timur. Bisa juga dari Bodeh turun ke Selatan ke Watukumpul lalu menyeberang ke Pekalongan menyeberangi Kali Comal. Ah, terlalu banyak pilihan jalur & semua jalurnya asik-asik untuk dijelajahi. Kami pun memutar balik dan kembali ke rute yang sudah ditunjukkan Gmaps, yaitu masuk ke Kec. Watukumpul melalui Desa Wisnu. Tepat sebelum gapura masuk Desa Wisnu, jalur akan melewati Jembatan Bendungan Nambo.

Tidak lama setelah memasuki Desa Wisnu, medan jalan akan menanjak. Jalan akan terus menanjak dan menanjak sampai akhirnya berada di puncak perbukitan. Kondisi jalan yang berupa aspal mulus memudahkan perjalanan kami. Tanjakan di sini merupakan tanjakan sangat panjang dan curam. Nyaris tidak ada medan datar. Terus menanjak sampai puncak perbukitan. Untungnya tikungannya tidak terlalu tajam. Hanya saja lebar jalan hanya cukup untuk dua pick up papasan.

Medan jalan akan terus menurun mendekati Pasar Watukumpul. Selepas Pasar Watukumpul pun, medan jalan masih didominasi oleh turunan panjang. Memasuki Desa Jojogan, medan jalan akan bervariasi. Terkadang menanjak, terkadang menurun, terkadang juga datar. Pemandangan di sepanjang jalan merupakan deretan perbukitan sejauh mata memandang. Memasuki Desa Cikadu, kondisi jalan akan menjadi aspal rusak dan medan masih didominasi turunan. Turunan di sini tidak sepanjang dam securam di jalur Desa Wisnu – Pasar Watukumpul – Desa Jojogan. Dari Pasar Cikadu, kami pun mengambil arah Bodeh. Arus lalu lintas cukup ramai. Kegiatan warga pun lebih ramai dibandingkan desa – desa sebelumnya.

JEMBATAN KALIKERUH

JEMBATAN KALIKERUH

Medan jalan kembali menanjak panjang dan curam. Ujung tanjakan merupakan puncak bukit. Jalur selanjutnya akan berada di punggungan dengan hutan pinus di kedua sisi jalan. Jangan khawatir, di sini jalanan sudah kembali beraspal mulus. Setelah jalan melewati punggungan, kami berbelok ke arah Timur. Tepatnya mengambil jalan yang menuruni bukit hingga bertemu aliran sungai yang cukup besar. Sungai yang sekaligus merupakan batas geografis antara Kab. Pemalang dengan Kab. Pekalongan. Medan jalan akan terus menurun dengan suguhan hamparan perbukitan sejauh mata memandang.

Kami tiba di sebuah jembatan. Jembatan Kali Keruh. Kami pun istirahat sejenak sambil mengambil beberapa foto sebelum kembali meneruskan perjalanan. Setelah berhenti beberapa saat, kami pun meneruskan perjalanan. Kali ini kami sudah berada di dalam wilayah Kab. Pekalongan. Ini adalah pertama kalinya saya memasuki Kab. Pekalongam selain dari Pantura. Di sinilah saya kembali was-was. Jalur yang ditunjukan Gmaps akan melewati sebuah bukit yang bernama Bukit Kemuning di Gmaps. Sayangnya, Google Street View tidak sampai ke daerah sana.

Saya bertanya ke beberapa teman pun, hanya satu yang bisa menjawab. Itupun ragu karena takutnya kondisi jalannya sudah berbeda. Hanya saja, dia yakin kalau kondisi jalannya masih layak dilewati. Sebenarnya saya sudah menyiapkan Plan B, kalau-kalau kami tidak memungkinkan melewati Bukit Kemuning. Plan B yaitu melewati pusat Kecamatan Kandangserang. Memang jalurnya menjadi lebih jauh karena harus memutari bukit, tapi setidaknya aman karena ramai dan full aspal mulus.

JEMBATAN PERBATASAN KABUPATEN PEMALANG DENGAN KABUPATEN PEKALONGAN

JEMBATAN PERBATASAN KABUPATEN PEMALANG DENGAN KABUPATEN PEKALONGAN

Untungnya, ketika memasuki dusun terakhir sebelum jalur menanjak ke arah bukit, di depan kami ada mobil APV yang ternyata juga sama mengarah ke atas bukit. Harap-harap cemas, apa tujuan mobil ini juga ke Desa Werdi atau hanya warga setempat saja. Dan lagi-lagi, kami beruntung. Mobil APV pun tujuannya sama, ke arah Desa Werdi. Kondisi jalan di area Bukit Kemuning sudah aspal, meskipun aspal desa. Areanya cukup terbuka. Tidak seperti yang saya bayangkan akan melewati area hutan tertutup. Selain itu, ternyata lumayan ramai warga yang melintas. Bonusnya lagi, ketika berada di area puncak Bukit Kemuning, kami menyempatkan untuk berhenti untuk mengambil foto. Mumpung matahari sore hari lagi bagus-bagusnya.

Setelah kami berhasil melewati Bukit Kemuning, perasaan saya jauh lebih tenang. Hanya tinggal sedikit was-was bagaimana kondisi jalan dan medan jalan di Desa Werdi hingga ke Desa Krandegan. Karena dari Desa Krandegan sampai Wonosobo nanti, kondisi jalan akan terus aspal mulus dan sudah kembali ke jalan lintas antar Kabupaten. Ternyata, kondisi jalan di sepanjang Desa Werdi cukup bagus. Sekelas aspal desa tapi masih layak untuk dilalui, bahkan dengan mobil jenis sedan. Akhirnya, kami pun masuk ke Kecamatan Paninggaran dan kembali bertemu dengan jalan raya.

Sekilas saya menoleh ke arah Bukit Kemuning, ternyata arah kami datang barusan, puncak perbukitannya sudah ditutupi kabut tebal. Untung saja kami sudah lewat. Di Paninggaran pun kabut sudah turun. Sudah tidak ada lagi sinar matahari. Sinar matahari terlihat di kejauhan, di arah Pantura. Sebenarnya, pemandangan dari sini sampai ke Wonosobo nanti sangat epik. Sayangnya, kami masuk Kalibening saja sudah hampir Magrib, apalagi di Dieng sana. Perjalanan berikutnya, karna sudah gelap, kami hanya menikmati tanjakan panjang dan udara dingin khas Dieng.

KAMAR HOTEL WONOSOBO

KAMAR HOTEL WONOSOBO

Di kejauhan, kami melihat kilatan petir dan awan hujan yang sangat tebal. Semoga saja bukan ke arah tujuan kami. Sepanjang jalur Kalibening – Dieng, awalnya kami beriringan dengan beberapa sepeda motor warga. Semakin mendekati kawasan Dieng, semakin sedikit juga kendaraan yang beriringan ataupun berpapasan dengan kami. Maklum, karena hari ini bukan akhir pekan atau hari libur. Udara dingin mulai terasa. Tanajakan – tanjakan di hadapan kami pun semakin curam dan Panjang. Secara umum, jalur yang kami lewati sangat sepi. Kami hanya melewati dua pusat keramaian. Pusat Kecamatan Wanayasa dan Pusat Kecamatan Batur. Selepas pusat Kecamatan Batur, jalur mulai memasuki Kawasan Wisata Dataran Tinggi Dieng.

Ini pertama kalinya saya mendatangi Dieng bukan di hari libur. Sepi, dingin, dan tenang. Kami sama sekali tidak berpapasan atau melihat lalu-lalang kendaraan pariwisata. Kami pun memutuskan untuk mengambil jalur lama saja, ketimbang jalur baru yang melewati Air Terjun Sikarim.

Sekitar pukul 20.00 WIB, kami pun tiba di tempat kami menginap di Kota Wonosobo. Untungnya, sampai kami tiba di tujuan kami di Wonosobo, kondisi cuaca dan arus lalu lintas sangat bersahabat. Kami menginap satu malam di Wonosobo sebelum besok kembali melanjutkan perjalanan dengan mencoba rute baru lainnya. Demikianlah motoran hari kedua kami.

MEMASUKI KABUPATEN PEKALONGAN

MEMASUKI KABUPATEN PEKALONGAN

PUNCAK BUKIT KEMUNING KABUPATEN PURWOKERTO 2

PUNCAK BUKIT KEMUNING KABUPATEN PURWOKERTO 2

PUNCAK BUKIT KEMUNING KABUPATEN PURWOKERTO

PUNCAK BUKIT KEMUNING KABUPATEN PURWOKERTO

SARAPAN

SARAPAN

SPOT RANDUJAJAR 2

SPOT RANDUJAJAR 2

SPOT RANDUJAJAR 4

SPOT RANDUJAJAR 4

SPOT RANDUJAJAR

SPOT RANDUJAJAR

VIEW KE ARAH UTARA DARI BUKIT KEMUNING KABUPATEN PEKALONGAN 2

VIEW KE ARAH UTARA DARI BUKIT KEMUNING KABUPATEN PEKALONGAN 2

VIEW KE ARAH UTARA DARI BUKIT KEMUNING KABUPATEN PEKALONGAN

VIEW KE ARAH UTARA DARI BUKIT KEMUNING KABUPATEN PEKALONGAN

 
Leave a comment

Posted by on January 11, 2023 in OUR JOURNEY, Travelling